Logika: Buat Apa Pulangan?


Logika: Buat Apa Pulangan?

Dari dulu saya bertanya-tanya, apa tujuan diadakannya pulangan untuk santri? Kenapa santri harus pulang, toh pada akhirnya mereka harus kembali lagi ke penjara suci.

Mungkin dari beberapa pembaca beropini bahwa tujuan santri dipulangkan adalah menghilangkan stres, refreshing dari kejenuhan setelah berbulan-bulan mengalami segala cobaan, penderitaan dan tetek bengek hal yang biasa dialami oleh pencari ilmu, seperti contoh makan seadanya, jam tidur yang tidak karuan, kiriman pas-pasan, setoran kitab yang tak kunjung hafal, takziran yang setiap harinya menguras mental atau beberapa santri yang mungkin ‘overthinking’ karena takut si ‘dia’ sudah digondol kucing duluan (𝐫𝐞𝐝: 𝐝𝐢𝐭𝐢𝐤𝐮𝐧𝐠).

Tidak ada yang salah atau sah-sah saja dengan ‘mengada-ada’ pendapat tersebut, karena hal ini bersifat relatif, artinya bukan kebenaran absolut, tidak ada yang benar atau yang salah.

Apakah sesederhana itu dari pihak pesantren memutuskan pulangan santri dengan tujuan ‘refreshing’ yang mungkin di telinga kita terdengar remeh? Memulangkan santri adalah sesuatu hal yang beresiko tinggi. Kenapa saya anggap sebagai resiko tinggi? Karena santri diberikan peluang untuk melakukan hal atas kehendak nafusnya sendiri. Jika sebelumnya di pesantren mereka harus tunduk dan patuh terhadap peraturan, entah itu yang tertulis atau tidak, namun di luar pesantren, mereka bisa saja ‘barbar’. Sadar atau tidak kita disadari, mereka pulang dengan membawa nama almamater, nama baik dari pesantren, jadi secara tidak langsung, nama pesantren dibuat modal sebagai ajang taruhan oleh santri.

Bayangkan jika ada seorang santri dari salah satu pesantren melakukan hal negatif seperti contoh tindakan kriminal, maka mungkin akan timbul kecenderungan anggapan atau sesuatu yang bersifat prejudis (prasangka) dari masayarakat tentang apa lembaga atau pesantren yang ‘saat ini’ mereka tempuh. Akan muncul suatu stigma atau pandangan bersifat ‘negatif’ pada pesantren, seperti salah satu contoh berikut:

“𝑇𝑖𝑑𝑎𝑘 ℎ𝑒𝑟𝑎𝑛 𝑙𝑎𝑔𝑖, 𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑛𝑡𝑟𝑒𝑛 𝐴 𝑚𝑒𝑚𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑚𝑝𝑎𝑡𝑛𝑦𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑛𝑎𝑘𝑎𝑙.” 

Kenapa prasangka masyarakat hanya berlaku pada orang yang menyandang status santri? Kenapa jika bukan santri mereka anggap itu hal yang biasa?

Alasannya karena paradigma yang telah terpupuk dan tertanam dalam pola pikir masyarakat bahwa pesantren adalah sesuatu yang suci. Dari mana hal tersebut terbentuk? dari hal berikut ini:

𝑃𝑒𝑠𝑎𝑛𝑡𝑟𝑒𝑛 𝑖𝑑𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑎𝑔𝑎𝑚𝑎
𝐴𝑔𝑎𝑚𝑎 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑎𝑡𝑎𝑢 ℎ𝑎𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑢𝑐𝑖

Maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pesantren adalah sesuatu yang suci, dimana tempat orang baik dan tak punya dosa berkumpul di dalamnya, dengan arti lain akan menimbulkan suatu pernyataan yang bersifat universal (semua) yaitu  “𝑆𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑛𝑡𝑟𝑒𝑛 𝐴 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑖𝑘”. Sehingga apabila ada hal yang mugkin kontradiksi dengan sifat yang disifati oleh masyarakat terhadap pesantren, maka akan terjadi suatu pengingkaran bahwa “𝑆𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑛𝑡𝑟𝑒𝑛 𝐴 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑖𝑘” artinya semua orang di pesantren adalah orang jahat. 

Seperti yang pembaca ketahui bahwa pengingkaran terhadap sifat pesantren oleh masyarakat di atas tidaklah tepat. Karena secara aturan logika, pengingkaran atau negasi (𝐫𝐞𝐝: 𝐢𝐬𝐭𝐢𝐥𝐚𝐡 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐥𝐨𝐠𝐢𝐤𝐚) dari sesuatu yang bersifat universal (semua) adalah eksistensial (ada / beberapa), kebalikan dari 𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚 adalah 𝐚𝐝𝐚. Jadi seharusnya jika seseorang berfikir bahwa “𝑆𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑛𝑡𝑟𝑒𝑛 𝐴 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑖𝑘”, lalu kemudian terjadi kontradiksi dengannya, maka dengan benar dan bijak seseorang mengingkarinya dengan pernyataan “𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖 𝑝𝑒𝑠𝑎𝑛𝑡𝑟𝑒𝑛 𝐴 𝑎𝑑𝑎𝑙𝑎ℎ 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑎𝑖𝑘” artinya di pesantren itu ada orang baik dan juga ada orang jahat.

Jika kita analogikan dengan suatu pohon, maka pohon adalah pesantren, sedangkan santri adalah buahnya, pohon akan terus berusaha semaksimal mungkin untuk menyalurkan nutrisi agar nantinya buah yang dihasilkan berkualitas, sama halnya dengan pesantren, pesantren memiliki visi dan misi untuk memperbaiki akhlak dan keilmuan santri, agar santri menjadi manusia yang berkarakter, tentunya karakter yang kompatibel dengan norma agama dan norma masyarakat. Ketika musim panen, apakah kita bisa memastikan bahwa kemungkinan semua buah akan masak dengan baik, artinya tidak ada buah yang busuk? Apakah semua santri akan seratus persen baik, artinya tidak ada santri yang masuk dalam kategori anomali?

Kembali lagi pada topik permasalahan, apa tujuan sebenarnya diadakannya pulangan untuk santri? Saya tidak tahu pastinya, karena sudah saya jelaskan sebelumnya bahwa ini bersifat relatif. Namun disini saya akan jabarkan opini pribadi bahwa pulangan adalah semacam ‘training’ atau uji coba. Apa maksudnya? Saya bagi proses mencari ilmu atau nyantri menjadi tiga fase berikut:  

𝟏. 𝑭𝒂𝒔𝒆 𝒅𝒊 𝒑𝒆𝒔𝒂𝒏𝒕𝒓𝒆𝒏 adalah fase dimana kita dididik, dibekali dengan berbagai macam teori (ilmu).

𝟐. 𝑭𝒂𝒔𝒆 𝒑𝒖𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 adalah fase dimana sebagai uji coba (praktek), bagaimana seorang santri dapat mengaplikasikan atau menerapkan apa yang dia peroleh dari fase ke 1. Fase ini bersifat uji coba alias masih bersifat simulasi, artinya kesalahan yang diperbuat mungkin masih bisa ditolerir.

𝟑. 𝑭𝒂𝒔𝒆 𝒃𝒆𝒓𝒉𝒆𝒏𝒕𝒊 𝒎𝒐𝒏𝒅𝒐𝒌 (terjun ke masyarakat), ini adalah kehidupan yang sesungguhnya dimana tindak tanduk dari seorang santri akan dipandang oleh masyarakat. Semakin tinggi tingkat kegagalan di fase ke 2, maka semakin rendah presentase keberhasilan pada fase ini, sebaliknya semakin rendah tingkat kegagalan di fase ke 2, maka semakin tinggi santri akan memperoleh keberhasilan di fase ini.

Ketiga fase di atas berkesinambungan satu sama lain. Jika seorang santri ingin sukses di fase ke 3, maka dia harus baik di fase ke 2, jika dia ingin memperoleh banyak poin di fase ke 2, maka dia harus optimalkan di fase ke 1.

Sudahkah pembaca mengambil kesimpulan dari tujuan pulangan santri berdasarkan penjabaran di atas?

Intinya, untuk para santri, bijaklah kalian untuk mengisi masa liburan yang kita sebut dengan masa training (uji coba), gunakanlah masa training sebagai tolak ukur sejauh mana anda menguasai teori yang diperoleh dari pesantren, entah itu masalah akhlak atau ubuddiyah. Jika itu terasa sulit untuk dijalankan, maka ingatlah pepatah bijak, 𝑱𝒊𝒌𝒂 𝒂𝒏𝒅𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒗𝒂𝒌𝒔𝒊𝒏, 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒋𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒗𝒊𝒓𝒖𝒔 𝒄𝒐𝒓𝒐𝒏𝒂.  

Sekian.


  • Author :Fatihul Ulum Admin
  • Category : Opini ,
  • | 4/14/2021 12:00:00 AM


Related Posts


Data Ayo Mondok ngawur

Ayo Mondok adalah website yang berisikan...


Pondok pesantren terbaik di Jember

Tidak ada pesantren terbaik di jember ataupun di...


Inferno

Inferno adalah salah salah satu film baru yang...